Hagia Shopia Kembali Jadi Masjid, So What?

Pengubahan tempat ibadah menjadi rumah ibadah penguasa yang baru adalah biasa. Bedanya, ketika Muslim yang jadi penguasa toleransi beragama tetap dijalankan. Mereka dijamin kebebasan beragamanya.

Dr. Ali Al-Qaradaghi –Sekjen Persatuan Ulama Muslim Internasional– menulis quote menarik dalam twetter beliau terkait difungsikannya Hagia Shopia menjadi masjid kembali oleh Presiden Erdogan, serta keberatan dunia internasional terkait hal itu.

Tanggal 11 Juli 2020, di twitter beliau menulis demikian:

تحولت مساجد المسلمين في الأندلس لكنائس وبارات ونوادي ليلية !

وتحول مسجد بابري في الهند إلى معبد للأصنام !

ويريدون تحويل القدس بكل مقدساتها عاصمةً للصهاينة !

ولم نسمع بصوتٍ غربيٍ أو شرقيٍ يدين هذه الجرائم !

لكن تحويل آيا صوفيا لمسجد أخرج أضغان وأحقاد مرضى القلوب من الشرق والغرب !!

Arti bebasnya demikian:

Masjid-masjid muslim di Andalusia dulu berubah menjadi gereja-gereja, bar-bar dan klub-klub malam.

Demikian pula Masjid Babri di India yang berubah menjadi rumah ibadah penyembahan berhala!

Mereka (ada) yang ingin mengubah Al-Quds –dengan segenap kesakralannya—sebagai ibu kota Zionis!

(Mirisnya) kita tidak pernah mendengar suara dari Barat atau Timur yang mempermasalahkan tindakan kriminal ini!

Akan tetapi, (ketika) Hagia Shopia diubah menjadi masjid, (maka) membuat orang Timur dan Barat hatinya dengki dan iri, sakit hatinya.

Menurut catatan sejarah, Hagia Sophia atau Aya Sofya dulunya adalah gereja yang dibangun oleh Kaisar Justinian I yang merupakan penguasa Bizantium (523-537). Kemudian, saat wilayah Tuki dikuasai pemerintahan Islam (27 Mei 1453), maka gereja itu diubah menjadi masjid dengan nama Aya Sofya. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Turki Moderen (Kemal At-Taturk, 1937), fungsi rumah ibadah ini diubah menjadi museum. (100 Keajaiban Dunia, 15).

Masalahnya dunia kemudian heboh ketika bangunan bersejarah ini ditetapkan kembali sebagai masjid pada hari Jumat 10 Juli 2020, yang diresmikan oleh Presiden Turki Tayyip Erdogan; dan akan mulai ditempati pada 24 Juli 2020. Berbagai isu miring beredar di jagad maya. Banyak yang mengkritik, namun tak sedikit pula yang mendukung keputusan bersejarah itu.

Dalam buku “Taarikh ad-Daulah al-‘Aliyyah al-Utsmaaniyah” (1981: 164, 165) karya Muhammad Farid Bik, diceritakan bahwa dijadikannya Aya Shopia menjadi masjid, tidak bisa dipisahkan dari peristiwa pembebasan Konstantinopel yang dilakukan muslim sebanyak 11 kali.

Baru kemudian pada percobaan ke-12, berhasil dibebaskan oleh Sultan Al-Ghazi, Muhammad Al-Fatih. Diceritakan bahwa, waktu zuhur, Sultan memasuki kota Konstantinopel yang baru saja bisa dibebaskan.

Saat itu, para prajurit sedang sibuk dengan rampasan perang, maka seketika itu juga beliau mengeluarkan perintah agar tidak berbuat kerusakan dan menjaga stabilitas keamanan dengan sesegera mungkin.

Kemudian, beliau berkunjung ke Gereja Hagia Shopia, lalu belia memerintahkan agar dikumandangkan adzan di dalamnya, sebagai pengumuman bahwa tempat itu akan dijadikan masjid besar bagi umat Islam.

Menariknya, setelah pembebasan usai, Sultan Al-Fatih mengumumkan ke segenap penjuru negeri agar tidak dilarang (alias membolehkan) pemeluk agama lain (seperti Kristen) untuk menjalankan ritual keagamaannya dan dijamin kebebasan beragama, bahkan harta mereka juga dijamin kemanannya.

Dalam sejarah, peristiwa dijadikannya rumah ibadah menjadi tempat ibadah yang sesuai dengan agama yang dipeluk penguasa bukanlah hal baru. Karen Amstrong misalnya, dalam buku “Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk” (2003: 412) dijelaskan bahwa ketika tentara Salib pertama menaklukkan kota suci Yerusalem, tidak ada satu pun orang muslim dan Yahudi yang diizinkan untuk tinggal di dalamnya.

Lebih dari itu, masjid-masjid dan sinagog-sinagog dihancurkan, dicemari. atau diubah menjadi gereja. Kemudian, ketika Saladin (Shalahuddin Al-Ayyubi) berkuasa, maka gereja-gereja yang dibangun oleh pasukan salib itu diubah menjadi masjid-masjid dan madrasah-madrasah.

Meski demikian, Shalahuddin Al-Ayyubi tetap memberikan toleransi. Orang Kristen masih diizinkan untuk beribadah secara bebas di kota-kota Muslim. Kecuali kaum Frank. Kata Karen Amstrong, “Lagi-lagi ini bukanlah perang melawan agama Kristen. Kaum Krsiten Yunani dan Timur, yang tidak memburu dan menjajah kaum muslim, diizinkan untuk tetap tingga di Kota Suci dan di Makam Suci.”

Demikian juga di Andalusia (Muslim di Spanyol). Menurut catatan Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam buku “Bangkit dan Runtuhnya Andalusia” (2013: 741) juga tercatat bagaimana saat Cordova jatuh pada 23 Syawal 553 Hijriah, masjid jami’nya yang sangat megah dan besar diubah menjadi sebuah gereja oleh orang Kristen.

Terkait peristiwa bersejarah ini –dalam buku yang sama, hal: 870– disebutkan bahwa  Abul Baqa’ Ar-Randi membuat kasidah tentang sebagai ratapan pada Andalusia. Salah satu baitnya berbunyi demikian:

Kampung halaman itu menjadi senyap dari Islam

yang marak adalah kekufuran

masjid-masjid sudah berubah menjadi gereja

dengan loncen dan papan salib

bahkan mihrab-mihrab pun menangis

mimbar-mimbar ikut meratap sedih

Oleh karena itu, sebagaimana ungkapan Dr. Ali Al-Qaradaghi di twitter tadi, ada ketidakobyektifan dalam memandang sejarah. Ketika Hagia Shopia difungsikan menjadi masjid kembali, maka banyak negara gaduh, padahal ketika masjid-masjid di Spanyol dijadikan gereja, atau ketika Al-Quds dijadikan Ibu Kota Zionis, mereka diam saja. Toleransi macam apa yang ingin mereka jalankan, padahal sikap mereka tebang pilih dan penuh standar ganda.

Jadi, kalau berbicara fakta sejarah, pengubahan tempat ibadah menjadi rumah ibadah penguasa yang baru sudah ada sejak dulu bahkan sebelum Hagia Shopia. Bedanya, ketika Muslim yang jadi penguasa, sebagaimana Shalahuddin misalnya atau Sultan Muhammad Al-Fatih misalnya, toleransi beragama tetap dijalankan. Mereka dijamin kebebasan beragamanya.

Bandingkan dengan tentara Salib pada 15 Juli 1099 saat menaklukkan Yerusalem. Karen Amstrong (2003: 289-290) mencatat laporan Raymund dari Aguiles mengenai betapa mengerikannya mereka dalam membantai umat Islam.

Katanya, “Di Kuil Sulaiman dan berandanya, pasukan kami menunggangi kuda yang bergerak di antara genangan darah stinggi lutut dan tali kekang kude mereka.” Mereka bukan saja mengubah masjid jadi gereja, bahkan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap pemeluk agama lain. Oleh karena itu, ketika Hagia Shopia yang dulunya pernah jadi masjid kemudian difungsikan kembali jadi masjid, so what?[]

Penulis : Mahmud Budi Setiawan (hidayatullah.com)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *