Jangan Lupa, Piagam Jakarta adalah “Jiwa” UUD 1945

PADA 5 Juli 2020, saya diundang untuk menjadi nara sumber dalam dua acara Peringatan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pertama, acara “Sarasehan Kebangsaan”  Ulama dan Tokoh Masyarakat Solo Raya yang membahas tema “Menguatkan Kembali Jati Diri Bangsa Indonesia”. Kedua, seminar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara (Mahutama) Muhammadiyah, yang mengangkat tema “Mengingat Dekrit Presiden Memaknai Kembali Piagam Jakarta”.

Kedua acara itu memang mengambil momentum tanggal 5 Juli sebagai Hari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Biasanya, tanggal 5 Juli jarang disemarakkan dengan diskusi tentang Dekrit Presiden. Tentu ini ada kaitannya dengan hebohnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila).

Memang, bagi umat Islam, momentum 5 Juli 1959 adalah salah satu tonggak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tanggal itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit – tentang kembalinya negara Republik Indonesia  ke UUD 1945. Dalam Dekrit itulah, Presiden Soekarno menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan  bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Bung Karno tentu tidak main-main dengan Dekrit tersebut. Piagam Jakarta disebut “Menjiwai” UUD 1945. Itu artinya, Piagam Jakarta adalah jiwa UUD 1945. Manusia itu terdiri atas jiwa dan raga. Jika UUD 1945 adalah raganya, maka jiwanya adalah Piagam Jakarta! Jiwa dan raga itu tidak bisa dipisahkan, jika mau hidup. Maka wajar, jika antara Piagam Jakarta dan UUD 1945, ada hubungan yang tak terpisahkan, karena merupakan satu rangkaian kesatuan.

Dalam diskusi di Mahutama tersebut, Ketua Mahutama Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari menyatakan, bahwa Dekrit Presiden terbukti merupakan fakta hukum (fakta juridis), bukan semata-mata fakta historis.

Karena itu, kita bisa memahami, bahwa setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,  maka sebenarnya, rumusan sila pertama Pancasila selengkapnya adalah: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden Soekarno tersebut, Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis:

“Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian  kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).

Dalam Peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan selaku Menteri Agama, mengatakan:

“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang jadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.” (Ibid, hal. 135).

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama pengganti KH Saifuddin Zuhri, mengatakan:

“Bahwa diatas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah colonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta.

Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekatang pun setelah  PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Demikianlah, begitu jelasnya kedudukan dan makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang saya menyebutnya sebagai Hari penegasan “Konsep Negara Tauhid”.  Sebab, dengan Dekrit itu berarti menegaksan: bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sementara itu, Bung Karno senantiasa menyebut bahwa Piagam Jakarta adalah untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam diskusi di Solo maupun di Majelis Mahutama itu, saya mengajak para tokoh dan para pakar hukum di Muhammadiyah, agar lebih serius dalam memperhatikan pendidikan PKN atau Pendidikan Pancasila. Jangan hanya memprotes keras RUU HIP, tetapi membiarkan saja anak-anak muslim diajari materi ajar PKN dan Pancasila yang tidak sesuai dengan amanah para pendiri bangsa ini, khususnya para Pahlawan Nasional muslim, seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abukurno Tjokrosuyoso, Buya Hamka, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Wallahu A’lam bish-shawab* []

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *