Peduli Sesama hingga Detik Akhir

Peduli Sesama

Oleh M. Anwar Djaelani,

Ladang amal itu teramat luas dan tak mengenal musim. Ladang itu bisa kita “tanami” berbagai kebajikan kapanpun. Bisa di saat kita sedang lapang dan dapat pula di kala sempit lantaran sedang dihantui pandemi Covid-19, misalnya.

Ada Kaca
Hari-hari ini, atas berbagai kesulitan –termasuk di aspek ekonomi- sebagai akibat pandemi Covid-19, maka bantuan kepada sesama akan sangat berharga. Terkait ini, ada ilustrasi sederhana. Seorang sahabat –wanita- yang tinggal di pinggiran sebuah kota di Jawa Timur, pada 04/04/2020 berbagi semangat. Intinya, dia berusaha peduli sesama dan untuk itu lalu mengajak tokoh-tokoh masyarakat dan pengurus masjid setempat agar menyiapkan langkah nyata memberikan bantuan.

Meski ajakannya -setidaknya di awal-awal-, tak segera mendapat respon bagus, dia terus melangkah. Sekarang ini, kata dia, bantuan baru “Fokus –prioritas- ke janda-janda di atas usia 55 tahun yang biasa berdagang makanan atau sayuran, tapi dalam beberapa pekan terakhir ini sudah tidak berjualan lagi”. Dia-pun semakin bersyukur, bahwa dalam sepekan terakhir ini sebuah masjid -yang bukan masjid di lingkungan terdekatnya- telah mulai mengambil peran. Masjid itu menyediakan paket sembako (sembilan bahan pokok).

Apa yang dilakukan wanita –yang bukan siapa-siapa- itu, adalah sebentuk sikap peduli yaitu bersegera membantu siapapun yang membutuhkan. Apa yang dikerjakan wanita –yang biasa-biasa saja- itu, adalah sebentuk altruisme yaitu sikap untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain.

Sikap peduli harus kita kedepankan, kapanpun dan kepada siapapun, di saat lapang atau sempit. Sebaliknya, buang egoisme, yaitu sikap mementingkan diri sendiri.

Memang, mudah membayangkan, peduli sesama di saat kita sedang lapang seperti dalam keadaan sehat dan berkecukupan. Tapi, bisakah kita tetap peduli sesama di saat-saat kita sendiri sedang dalam kesempitan? Sekarang ini, misalnya. Bukankah bisa saja semua orang merasa dalam kesulitan karena ada di bawah bayang-bayang akan mendapat sakit atau bahkan mati karena pandemi Covid-19?

Benar, bisakah kita tetap peduli sesama di saat-saat kita sendiri berada di posisi sulit? Mari berkaca kepada kisah berikut ini.

Di Perang Yarmuk, Ikrimah bin Abi Jahal berjuang untuk Islam secara total. Banyak tentara Romawi yang tewas di tangannya. Atas performa Ikrimah yang super-berani itu, Khalid bin Walid –sang panglima perang- mengingatkan.

“Ikrimah, janganlah nekat. Keberadaan Anda sangat dibutuhkan,” kata Khalid bin Walid.

“Anda sudah merasakan manisnya berjuang di Jalan Allah bersama Rasulullah Saw ketika saya dan bapak saya sangat keras memusuhi di medan perang. Pantaskah kini -setelah bersama Rasulullah Saw-, saya malah lari dari pasukan Romawi? Tidak, biarkan saya menebus dosa-dosa saya,” kata Ikrimah.

Ikrimah kemudian kembali ke medan jihad. Qadarullah, dia terluka parah. Lalu, dibaringkan berdekatan dengan Harits bin Hisyam dan Suhail bin Umair yang juga terluka parah.

Akibat kehilangan banyak darah, mereka kehausan. Ketika perawat hendak memberi Ikrimah minum, tiba-tiba Harits mengeluh kehausan. Ikrimah meminta air itu untuk diberikan ke Harits saja. Belum sempat Harits menyentuh gelas, Suhail mengerang kehausan. Harits-pun mendahulukan Suhail. Tapi, Suhail pun tidak jadi minum dan mendahulukan Ikrimah yang kembali mengerang kehausan.

Begitu air didekatkan ke Ikrimah, ternyata dia sudah meninggal. Demikian pula ketika hendak diminumkan ke Harits, dia juga telah tiada. Lalu, Suhail menyusul syahid pula. Ketiganya gugur tanpa sempat minum untuk kali terakhir.

Berbuat kebajikan itu perintah Allah. Pada kisah di atas, terlihat bahwa Ikrimah, Harits, dan Suhail sedang “berebut perhatian” Allah. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Al-Maaidah [5]: 93). Tampak, mereka sedang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. “Berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS Al-Maaidah [5]: 48).

Ikrimah dan dua sahabatnya ingin selalu bisa berbuat kebajikan, bahkan sekalipun harus melepas sesuatu yang sangat diinginkannya. Pada kejadian itu, sesungguhnya segelas air adalah sesuatu yang paling diinginkan. Sesuatu yang sangat berharga karena –boleh jadi- bisa menyelamatkan mereka dari kematian. Tapi, mereka malah saling mengalah dan ingin mendahulukan sahabatnya.

Mereka telah memeragakan dengan indah tentang bagaimana praktik menafkahkan harta yang paling dicintai. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali ‘Imraan [3]: 92).

Mereka –Ikrimah dan dua sahabatnya- terlihat memiliki ciri sebagai orang shalih, yaitu bersegera mengerjakan kebajikan. Tampak mereka memiliki tanda-tanda orang yang bertaqwa yaitu berinfaq di Jalan Allah, baik di saat lapang ataupun sempit. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit” (QS Ali ‘Imraan [3]:133-134).

Saudaraku, Saudaraku!
Sampai kapan harus peduli kepada sesama? Sampai maut menjemput seperti Ikrimah dan dua sahabatnya itu. Juga, seperti Nabi Muhammad Saw, yang di bagian akhir-akhir hidupnya masih saja memikirkan ummatnya: “Ummati, ummati, ummati!” Maka sungguh relevan, jika sekarang -di saat banyak orang di sekitar kita yang berada di posisi sulit dan bahkan menderita akibat pandemi Covid-19-, kita beri mereka pertolongan. Sembari berniat meneladani Nabi Saw, ulurkanlah bantuan kita dan berserulah: Saudaraku, Saudaraku, Saudaraku! []

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *