Refleksi Penyucian Jiwa

hidayatullah

AL-QUR’AN adalah kitab yang mulia lagi suci. Dan, tentu saja sangatlah berbeda dengan seluruh kitab/buku apapun di dunia ini.

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ. فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ. لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ.

“Sesungguhnya al-Qur’an itu sangat mulia. Dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS: Al Waqiah [56]: 77-79)

Maka, menjadi wajar bila “ruh/spirit” dari kandungan al-Qur’an itu hanya bisa terinternalisasi pada jiwa-jiwa yang “suci” yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pola fikir dan cara pandangnya.

Bahkan Al Qur’an menjadi mesin penggerak dari seluruh aktifitas yang dilakoninya, agar tetap sejalan dengan apa yang “dikehendaki” oleh al-Qur’an itu sendiri.

Rangkaian perjalanan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam sebelum menerima wahyu adalah proses pengkondisian. Agar begitu Wahyu diterima bisa langsung connect.

Dan, proses pengkondisian yang utama dilakukan Rasulullah, adalah menjaga kesucian hati. Ini makin diperjelas lewat proses pembelahan dada plus pencucian hati yang dialami oleh beliau saat usia 4 tahun.

Apa yang dilakukan oleh Hidayatullah dengan membuat kampus-kampus Pondok Pesantren dan seluruh miniaturnya di berbagai penjuru tanah air, salah satu fungsi utamanya, adalah terjemahan dari “pembelahan dada dan pensucian hati” dalam konteks kekinian.

Karenanya, aturan dan sistem yang dibuat sedemikian rupa dalam kehidupan berkampus. Hal itu dimaksudkan untuk menyiapkan para kadernya. Agar bila saatnya tiba, Wahyu itu mudah terserap ke dalam hatinya yang tentu saja bukan dimaksudkan sebatas teori, tapi bagaimana mempengaruhi paradigma berfikirnya yang otomatis mewarnai seluruh gerak dan aktifitasnya.

Ada keyakinan yang sangat kuat, bila tanpa dukungan lingkungan yang kondusif plus sistem yang melingkupinya, maka akan sangat sulit menginternalisasikan nilai-nilai Wahyu pada diri setiap calon kader.

Dan, bila tetap dipaksakan tanpa ada pengkondisian, niscaya al-Qur’an hanya sebatas menjadi ilmu, yang justru efeknya sangat bumerang bagi kelanjutan cita-cita membangun peradaban itu.

Dalam konteks pensucian hati, pada dasarnya setiap orang (tanpa kecuali) yang terlahir di dunia ini, terlepas dari kapan waktunya, di mana tempatnya, dan siapa orang tuanya, semuanya terlahir dalam keadaan suci, alias tidak membawa dosa warisan.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, pelan atau cepat. Setiap orang berpotensi “menodai” kesucian hatinya, dan inilah yang menjadi sebab utama, kenapa ayat-ayat al-Qur’an “tak bisa” mewarnai dirinya.

Kesimpulan

Tingkat kesucian hati seseorang, akan berbanding lurus dengan kemampuan dia menyerap “spirit” dari setiap ayat yang diterimanya kemudian.

Dari sekian banyak “virus atau penyakit” yang berpotensi menodai kesucian hati seseorang, satu diantaranya dan ini sangat berbahaya, adalah keangkuhan (istilah yang populer di Hidayatullah adalah thagha’).

Hal tersebut merujuk pada rangkaian fase Pra -Wahyu dan juga ayat ke 6 dan 7 Surah Al-Alaq. Bahkan sabda Rasulullah menyangkut soal ini, sungguh sangat ekstrim.

لايدخل الجنة من كا ن في قلبه مثقال ذرة من كبر
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan, walau sebesar biji zarrah” (HR. Muslim 2/89 dan At Tirmidzi 3/243)

Penggunaan kata zarrah sebagai analogi, menggambarkan tidak adanya toleransi sedikitpun terhadap “thaqa’” itu, sebab zarrah adalah simbol benda terkecil.

Dulu, zarrah diartikan dengan biji sawi, sebab itulah benda terkecil saat itu. Belakangan ditemukan atom, bahkan kemudian ada electron, terakhir string. Dan inilah yang dimaksud zarrah itu.*

_____
*) AQIB JUNAID, penulis adalah Anggota Dewan Mudzakarah DPP Hidayatullah) (hidayatullah.or.id)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *