Kehadiran Hidayatullah sebagai gerakan dakwah dan tarbiyah patut selalu kita syukuri. Hidayatullah yang didirikan pada 1973 oleh Ustadz Abdullah Said, kini berkembang pesat dan turut mewarnai dunia kependidikan di Indonesia.
Hidayatullah dan Abdullah Said tentu sulit dipisahkan. Benar, sebab performa sebuah lembaga adalah representasi dari pemikiran dari sang pendiri. Maka, di titik ini, menarik jika kita buka ulang pandangan dan praktik kependidikan dari Abdullah Said. Tulisan berikut ini, petikan dari buku “Mencetak Kader” (Manshur Salbu, 2012: 233-238).
Iman, Ilmu, dan Amal
Di antara latar belakang pendirian Pesantren Hidayatullah adalah ingin mengubah sistim pendidikan, paling tidak di Indonesia. Wajah yang diidealkan adalah bahwa pendidikan itu tak berorientasi kepada predikat kesarjanaan semata, tapi yang lebih berorientasi pada kekaderan. Model yang disebut terakhir ini, kehadirannya di masyarakat akan langsung dapat dirasakan manfaatnya.
Abdullah Said (1945-1998) sering menyampaikan, bahwa jika pesantren yang kita dirikan sama dengan pesantren pada umumnya, untuk apa? Pesantren model begini sudah sangat banyak.
Adapun yang dimaksud dengan pesantren yang berorientasi kekaderan adalah lembaga dakwah dan pendidikan yang tak berkutat pada sisi menuntut ilmu saja, tapi berupa penggemblengan santri yaing sangat mengutamakan pengamalan. Kata Abdullah Said, kendati santri tak menghafal Rukun Iman, yang penting beriman. Di manapun mereka berada dan kegiatan apapapun yang mereka geluti, tak boleh lepas dari pemantapan iman.
Salah satu cara untuk memperkuat Rukun Iman adalah mengutamakan shalat berjamaah dan tepat waktu. Kepala-kepala rumah-tangga selalu diingatkan jangan sampai ada penghuni rumah -termasuk tamu- yang tak berjamaah di masjid tanpa udzur. Jika ada yang melanggar aturan ini, siap-siap mendapat panggilan khusus. Abdulah Said amat ketat dalam mengontrol masalah ini.
Menurut Abdullah Said, jika pelajarannya terarah sejak SD, kemudian sampai sarjananya dalam usia yang masih segar dan betul-betul menguasai bidangnya, tentu besar harapan untuk dapat berbuat banyak bagi masyarakat. Hal ini telah dibuktikan di Hidayatullah.
Di Hidayatullah, kader yang baru saja menyelesaikan Madrasah Aliyah (setingkat SMA) sudah berani ditugaskan ke seluruh Indonesia. Faktanya, mereka berhasil. Itu, karena mereka telah dididik untuk siap pakai dan mengerti persis apa yang harus dilakukan jika sampai di tempat tugas meski hanya bermodal ilmu yang minim.
Mata pelajaran yang diberikan ke santri tidak usah macam-macam. Hal yang diperlukan saja atau yang diminati oleh anak-anak. Jangan mereka dipaksa untuk menekuni mata pelajaran yang kemudian malah menjadi beban pikirannya.
Kata Abdullah Said, mata pelajaran di negeri ini terlalu banyak. Pikiran anak-anak banyak dijejali dengan mata pelajaran yang tidak bakal dimanfaatkan.
Lebih jauh, hemat Abdullah Said, yang penting anak-anak diberi pelajaran dasar yakni menulis, membaca, dan berhitung. Anak-anak seharusnya digiring untuk banyak membaca. Itulah sebabnya beliau kurang setuju dengan sistim klasikal. Kalau misalnya di Pesantren Hidayatullah ada kelas, itu sekadar untuk memberi arahan yang tak terlalu muluk untuk kemudian segera praktik di lapangan. Dengan demikian, santri jangan hanya kaya dengan teori tapi miskin pengalaman / praktik.
Belajar ilmu dagang, misalnya. “Tak usah terlalu lama belajar. Intinya, beli barang kemudian jual lebih dari modalnya, dan itu namanya untung. Juallah barang yang diminati dan banyak digunakan masyarakat. Berikan modal, kemudian suruh berdagang. Setelah beberapa kali mengalami untung-rugi dan jatuh-bangun, pada akhirnya ditemukan juga kiatnya untuk sukses dalam dunia dagang. Itu dimaksudkan agar tak terlalu lama bermain teori karena hanya akan menghabiskan waktu dan biaya. Kalau sudah belajar teori sedikit, segeralah dipraktikkan sehingga dapat diketahui dimana letak rahasia dari pekerjaan itu. Kalau terbentur masalah, pasti si anak akan serius mencari solusinya dengan cara membaca dan bertanya. Kalau hanya mempelajari teori bertahun-tahun, kemudian tak pernah praktik, tak akan berhasil,” terang Abdullah Said.
Model pembelajaran dagang seperti di atas itu, dilakukan pula oleh Abdullah Said dalam mengasah kemampuan-kemampuan para kader agar bisa berceramah. Intinya, tak banyak teori yang diajarkan tapi langsung disuruh praktik di mimbar. Kalau teman-temannya tertawa karena ada kekurangannya, di situ santri akan mengoreksi diri. Kalau berulang-ulang tampil dan mengoreksi diri, akhirnya akan menemukan kiat atau cara berpidato/berceramah yang baik dan menarik.
Terkait apa yang tergambar di dua paragraf di atas, Abdullah Said pernah menggagas pembuatan perpustakaan yang diistilahkannya dengan Perpustakaan Alam. Bahkan, sudah dibuat bangunan memanjang untuk keperluan ini. Tempat itu nantinya akan dipenuhi buku-buku terutama yang menyangkut ketrampilan. Misal, ketrampilan berpidato, menulis, dan yang semacamnya. Kalau santri jeda dari kerja di lapangan, dapat mampir sejenak di perpustakaan untuk membaca dan mencari solusi atau untuk lebih menyempurnakan apa yang tengah dikerjakannya.
Tantangan dan Posisi Kekhalifan
Ustadz Abdullah Said telah lama berpulang ke Rahmatullah. Tapi, narasi berikut ini, rasanya tak akan dan tak boleh kita lupakan terutama bagi segenap aktivis Hidayatullah. Bahwa, “Kita harus selalu mencari tantangan karena di balik tantangan itu ada peluang. Dalam bergelut dengan tantangan, di situlah kita menyadari potensi kekhalifahan yang ada di diri kita”. Demikian motivasi yang secara terus-menerus dipompakan Abdullah Said kepada segenap kadernya.
Jadi, mari tetap bersemangat merespon berbagai tantangan, termasuk di masa pandemi Covid-19 ini. Tetaplah jaga stamina dalam usaha kita meneruskan semua hal yang telah dirintis dan dibangun Ustadz Abdullah Said – Allahuyarham. []