Di keseharian, di sepanjang sejarah, lumayan mudah menemukan orang marah. Di kalangan masyarakat awam, cukup gampang menemukan orang marah. Di kalangan pemimpin, tak sedikit yang suka melampiaskan amarahnya dan bahkan secara terbuka. Padahal Islam, meminta: “Jangan marah!” Hanya saja, apa semua “jenis” marah dilarang?
Agar Tak Pilu
Terkait tema ini, Dr. Aidh Al-Qarni menulis buku dan lalu diterjemahkan oleh Fauzi Bahreisy dengan judul “Laa Taghdhab, Jangan Marah”. Buku yang terbit pada November 2013 ini memberi uraian lengkap tentang marah.
Dulu, pada generasi pertama umat manusia, Qabil –putra Nabi Adam As- marah. Dia marah atas aturan perjodohan yang dianggapnya tak sesuai dengan keinginan pribadinya. Qabil marah kepada saudaranya dan berkata: “Aku pasti membunuhmu!” (QS Al-Maaidah [5]: 27).
Dulu, Nabi Yunus As marah saat merasa dakwahnya setelah sekian lama tak berhasil. Diapun –tanpa meminta petunjuk Allah- lalu meninggalkan kaumnya. Apa yang lalu terjadi? Nabi Yunus As ditelan ikan besar. Di tengah kegelapan perut ikan Nabi Yunus As menyesal lewat sebuah pengakuan: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya [21]: 87).
Kini, orang yang gampang marah semakin banyak. Mereka ada di berbagai strata sosial, dari kelas awam sampai pada level pemimpin. Orang-orang itu menjadi marah -antara lain- karena terlibat di sebuah konflik kepentingan.
Buku Al-Qarni memuat pesan pokok: Jangan mudah marah! Renungkanlah riwayat ini: Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad Saw, “Berilah aku wasiat.” Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah engkau mudah marah!” Lelaki tadi mengajukan lagi hal yang sama sampai beberapa kali dan tetap dijawab, “Janganlah engkau mudah marah!” (HR Bukhari).
Di dalam buku Aidh Al-Qarni yang telah disebut di atas kita akan menemukan kupasan yang cukup terperinci. Misal, tentang hakikat marah, jenis marah, celaan bagi yang marah, dan bahaya marah. Bahwa, kita akan akan segera menuai susah jika enteng melepas marah.
Terutama untuk hal yang disebut terakhir di atas, maka sangat beralasan jika Islam melarang kita (dan terutama pemimpin) membuat keputusan di saat sedang marah. Lihatlah, misalnya, Genghis Khan (1162-1227) si pemimpin hebat itu.
Di antara sahabat utama Genghis Khan adalah seekor elang. Si elang selalu bersamanya terutama di saat dia berburu. Burung itu akan membantunya menunjukkan buruan yang diinginkan sang majikan. Si elang adalah contoh sahabat yang setia meski tak bisa bicara.
Di suatu hari, Genghis Khan berburu dan hanya ditemani si elang. Di tengah jalan, Genghis Khan berhenti di kaki gunung karena haus dan ingin minum. Genghis Khan-pun menemukan mata air dan lalu mengisi penuh gelasnya. Ketika hendak minum, si elang datang dan menumpahkan air di gelas Genghis Khan. Kejadian yang sama terulang ketika Genghis Khan mengambil lagi air.
Atas kelakuan si elang, Genghis Khan marah. Di kesempatan ketiga mengambil air, diapun melakukannya sambil menyiapkan pedangnya. Ketika si elang mendekat dan berusaha menumpahkan air, Genghis Khan segera memukul kepala si elang dengan pedang. Seketika si elang terkapar, mati.
Genghis Khan tertegun dalam kesedihan. Dia penasaran, lalu naik ke atas mata air untuk melihat kolam besar yang dari celah karangnya air mengalir. Ternyata, di dalam kolam itu terdapat bangkai ular berbisa yang besar. Di saat itulah, Genghis Khan sadar bahwa sahabatnya –si elang- itu sebetulnya ingin menyelamatkan dirinya dari kemungkinan minum air beracun.
Genghis Khan lalu membawa si elang pulang ke kerajaan. Dia meminta para pengawal untuk membuat patung elang dari emas dimana dituliskan pada kedua sayapnya: “Sahabat tetap sebagai sahabat meskipun melakukan hal yang tidak kausenangi”.
Singkat kisah, di hari itu Genghis Khan mendapat pelajaran yang sangat berharga. Bahwa, tindakan yang diambil di saat dalam keadaan marah akan berakibat fatal.
Kisah berikut lebih dramatis, terkait dengan Harry S. Truman saat dia menjabat sebagai presiden Amerika Serikat (AS). Pada 1945 dia membuat keputusan yang di kemudian hari disesalinya seumur hidup. Kala itu dia mengambil keputusan di saat sedang marah. Dia marah kepada Jepang karena telah menghancurkan armada laut AS. Dia-pun memutuskan untuk menjatuhkan dua bom atom ke Jepang, di Hiroshima pada 06/08/1945 dan di Nagasaki pada 09/08/1945.
Ada catatan, bom atom itu telah membunuh 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom itu.
Sehari sesudah peristiwa yang sangat mengerikan itu, Truman menyesalinya dan berkata: “Andai saja saya tidak menandatangani keputusan yang berbahaya itu. Saya sangat marah (waktu itu). Saya, (setelah kejadian itu) berangan-angan, andai ibu tidak (pernah) melahirkan saya. Andai saja saya mati dua puluh tahun sebelum tragedi itu terjadi.”
Bahkan, bukan hanya Truman yang terpukul dengan kerusakan hebat yang ditimbulkan oleh kedua bom itu. Salah seorang pilot yang melemparkan bom itu, juga terpukul. Dia lalu bunuh diri.
Sungguh, andai Truman tidak mengeluarkan keputusan di saat sedang marah, tak akan ada tragedi yang sangat mengerikan. Tak akan ada kerusakan hebat yang mendatangkan susah banyak orang. Tak akan ada pilot (baca: prajurit) yang bunuh diri.
Namun demikian, tak semua marah dilarang. Ada marah yang diizinkan. Misal, jika di suatu saat Allah, Rasulullah Saw, dan umat Islam diperlakukan secara tak patut, kita malah harus marah. Lihatlah Nabi Nuh As, Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, dan Nabi Muhammad Saw yang pernah marah dalam kaitannya dengan pembelaan kepada agama-Nya.
Tahan atau Atur
Alhasil, pertama, jangan mudah marah! Islam mengajarkan agar kita tak gampang marah. Sebaliknya, Islam sangat menghargai mereka yang punya peluang melampiaskan rasa marahnya tapi malah memilih untuk menahannya. Kedua, marah yang proporsional tetap diperlukan yaitu seperti di saat agama kita dinista oleh orang atau fihak yang tak tahu diri. []
Penulis : M. Anwar Djaelani (www.anwardjaelani.com)