Oleh M. Anwar Djaelani,
Mayoritas anggota masyarakat sedang menjalani hari-hari tak biasa, dalam program “Di Rumah Saja”. Hal ini, menyusul pandemi Covid-19. Intinya, kurang-lebih: Belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah, dan seterusnya. Tapi, setelah semua “kewajiban” itu selesai ditunaikan, waktu yang tersisa sebaiknya dipakai untuk apa?
Buka Jendela!
Banyak pilihan untuk menggunakan waktu selama di rumah. Misal, merapikan taman atau kebun mini di rumah, memperbaiki rumah –tentu saja yang ringan-ringan- yang barangkali selama ini luput dari perhatian, dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Jika apa-apa yang disebut di atas telah selesai kita kerjakan, lalu apa lagi? Sila buka buku, si “Jendela Dunia”. Ajaklah raga kita, lewat pikiran kita, mengembara dan mengarungi berbagai “pengalaman” yang menarik.
Mari, buka “mesin waktu”. Ingin berdekat-dekat secara khusus dengan Rasulullah Muhammad Saw? Bacalah, misalnya, “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husain Haekal. Berikutnya, perlu berdekat-dekat dengan Nabi-Nabi? Bacalah “Kisah Para Nabi” karya Ibnu Katsir.
Kita lanjutkan! Butuh lebih akrab dengan Khulafaur-Rasyidin plus Umar bin Abdul Aziz? Bacalah “Peri Hidup Khalifah Teladan” karya Khalid Muhammad Khalid. Ingin lebih karib dengan para Sahabat Rasulullah Saw? Bacalah “Biografi 60 Sahabat Nabi Saw” karya Khalid Muhammad Khalid. Berharap tahu lebih banyak para Tabi’in? Bacalah “Mereka Para Tabi’in” karya Abdurrahman Ra’fat Basya.
Mari, perjalanan kita teruskan. Ingin menapaki Bumi Mesir? Bacalah “Belajar dari Negeri Para Nabi” karya Edgar Hamas. Bahkan, “jalan-jalan” ke surga juga bisa. Bacalah “Tamasya ke Surga” karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Lalu, hendak menyusuri jejak jihad Pangeran Diponegoro di Perang Jawa 1825-1830 yang membuat Belanda nyaris bangkrut? Bacalah “Sang Pangeran dan Janissary Terakhir” karya Salim A. Fillah.
Tanpa lelah, teruskan perjalanan kita yang mengasyikkan. Bacalah setidaknya dua kisah karya Hamka -ulama dan sastrawan- ini: Pertama, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Novel ini terbit kali pertama pada 1938 dan terus dicetak ulang hingga kini serta telah difilmkan. Kedua, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck”. Novel yang mulai terbit pada 1939 ini sampai sekarang juga terus dicetak ulang. Pun, telah difilmkan.
Mengapa harus membaca? Hal ini, karena aktivitas itu merupakan perintah Allah yang teramat istimewa dan menjadi ayat pertama-Nya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS Al-‘Alaq [96]: 1).
Momentum musibah Covid-19 dengan program “Di Rumah Saja” semoga bisa memantik dan meninggikan minat baca kita. Untuk itu, bagi yang di rumahnya telah ada perpustakaan keluarga, sila optimalkan penggunaannya. Baca buku yang baru terbaca sebagiannya saja. Baca buku yang belum terbaca sama sekali. Lho, kok bisa? Bisa saja! Misal, dulu pernah beli buku dalam jumlah yang banyak. Mengingat berbagai kesibukan, belum semuanya terbaca. Bahkan, jangankan sempat dibaca, membuka segel plastiknya juga belum.
Bagaimana dengan yang belum punya perpustakaan keluarga? Inilah saat tepat untuk mulai mengoleksi buku, tentu jika ada dana. Cara membeli buku mudah, lewat “online”. Jika belum mungkin beli, manfaatkanlah internet untuk membaca buku-buku.
Baiklah! Ternyata, semua buku sudah terbaca, lalu bagaimana? Bacalah ulang buku-buku yang menarik atau mendesak dari segi keilmuan. Misalnya, bacalah buku-buku yang terkait dengan ibadah puasa Ramadhan karena sebentar lagi kita akan melaksanakannya.
Baiklah! Di antara banyak jenis buku, sangat dianjurkan untuk tak melewatkan buku berjenis biografi. Bahkan, membaca sejarah hidup seseorang atau suatu kaum, termasuk perintah Allah. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).
Bacalah biografi! Kita insya-Allah termasuk beruntung andai di antara buku yang dibaca ada memuat biografi Abdullah Said, pendiri Hidayatullah. Dia dikenal sebagai kutu buku dan pandai memberi motivasi.
Abdullah Said lahir 17/08/1945 di Sinjai, Sulawesi Selatan. Pada 1954, Abdullah Said pindah ke Makassar. Dia lulusan PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri). Lalu, ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Di IAIN hanya setahun, berhenti, karena merasa tak mendapat tambahan ilmu. Hal itu, karena semua materi kuliah telah dibacanya.
Pada 07/01/1973 Abdullah Said mendirikan Hidayatullah di Balikpapan. Gerakan itu dengan cepat menyebar ke berbagai pelosok Indonesia. Ratusan cabang Hidayatullah telah berdiri.
Jika tidak acara, tiap Ahad atau hari libur lainnya dia gunakan berwisata ke toko buku. Dia sedih jika ada buku yang diinginkannya, tapi saat itu uang di kantongnya tak cukup. Biasanya, dia lalu melobi penjaga toko agar buku yang diincarnya disisihkan sebuah.
Ketika di kemudian hari Abdullah Said dikenal sebagai muballigh muda yang cukup popular, kesukaannya membaca semakin kuat. Sebagian besar pendapatannya habis untuk belanja buku.
Abdullah Said pembaca yang tekun. Setelah memimpin Hidayatullah, dia semakin rajin membaca. Setiap hari dia membaca tiga koran terbitan Jakarta dan dua koran lokal (Balikpapan). Sementara, untuk media berkala dia membaca setidaknya sembilan majalah.
Bacaan Abdullah Said yang kaya, membuat ceramah serta tulisannya sangat menarik dan disenangi banyak pihak lantaran tajam dan aktual. Tulisan-tulisan dia yang dimuat majalah Suara Hidayatullah di rubrik Kajian Utama, disukai pembaca. Pendek kata, lewat kekuatan lisan dan tulisannya, Abdullah Said adalah seorang motivator ulung dan itu banyak terbantu oleh bacaannya yang luas.
Kapanpun, di Manapun!
Abdullah Said berpulang ke Rahmatullah pada 1998. Semangat Almarhum dalam membaca patut kita teladani. Alhasil, kapanpun kita harus rajin membaca, baik di masa-masa yang lapang atau di zaman sulit seperti di “musim” Covid-19 sekarang ini. Kita mesti senang membaca, baik saat “Di Rumah Saja” atau di manapun kita berada. []