Mengobati Hati Sendiri

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah adalah ulama besar. Karya tulisnya sangat banyak. “Thibb al-Qulub” adalah salah satu judul buku dari salah seorang murid Ibnu Taimiyah ini. Buku yang edisi terjemahnya diberi judul “Tombo Ati, Cerdas Mengobati Hati Sendiri” dan terbit pada 2005 ini, bisa memberi panduan tentang bagaimana seharusnya kita merawat dan mengobati hati. Berikut ini ringkasannya.

Tentang Hati

Hal yang pasti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, yang artinya: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging yang bila sehat, maka sehat pula seluruh tubuh”.

Semua perbuatan badan tidak akan terlaksana jika bukan berasal dari tekad dan niat hati. Kelak, hati akan dimintai pertanggung-jawabannya. Perhatikan terjemah ayat ini: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya” (QS Al-Israa’ [17]: 36).

Hati itu ada yang sehat, yang mati, dan yang sakit. Hati yang sehat adalah yang dapat menyelamatkan seseorang pada hari kiamat, seperti yang tergambar di QS Asy-Syu’araa’ [26]: 88-89, yang terjemahnya: “Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.

Istilah al-Qalbu as-Salim (hati yang sehat) merujuk pada hati yang bebas dari seluruh keinginan yang melanggar perintah dan larangan Allah (bahkan, termasuk yang syubhat).

Hal itu, mensyaratkan bebasnya kita dari penghambaan kepada selain Allah dan bebas dari berhukum kepada yang selain dari Rasul-Nya seperti yang dinyatakan oleh QS Al-Hujuraat [49]: 1, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Adapun yang dimaksud kita tak boleh “Mendahului Allah dan Rasul-Nya” adalah bahwa orang-orang mukmin itu tak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Singkat kata, hati yang sehat adalah hati yang tak terhalang untuk menerima al-Haq, lalu mencintainya serta lebih mengutamakannya.

Sementara, hati yang mati adalah lawan dari hati yang sehat. Inilah hati yang tak mengenal Allah. Hati yang mati itu selalu memperturutkan hawa nafsu meskipun tahu bahwa yang demikan itu mendatangkan amarah Tuhannya.

Adapun hati yang sakit adalah hati yang “bercabang” dua. Di satu sisi dia mencintai Allah dan inilah spirit kehidupan yang mulia. Tetapi, di sisi lain dia juga tak segan-segan memperturutkan hawa nafsunya dan inilah sumber kebinasaan.

Hati yang sakit adalah hati yang bila penyakitnya lebih dominan, maka akan bergabung dengan hati yang mati. Sementara, bila yang sehat lebih unggul, maka akan bergabung dengan hati yang sehat.

Ada lima perkara yang dapat merusak hati. Pertama, banyak bergaul yang tak bermanfaat. Kedua, panjang angan-angan. Ketiga, bergantung kepada selain Allah. Keempat, kenyang. Kekenyangan itu merugikan! Maka, perhatikanlah aturan, agar mengosongkan sepertiga perut kita untuk bernafas. Kelima, banyak tidur. Keenam, pandangan yang berlebihan. Ada peringatan, bahwa pandangan itu bagian dari anak panah iblis yang beracun. Sebaliknya, jika kita bisa menahan pandangan, maka Allah akan memberikan ketenteraman. Ketujuh, ucapan yang berlebihan. Perhatikan hadits ini: “Banyak orang yang disiksa di neraka disebabkan karena perbuatan lisannya” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Jika kita tak mewaspadai tujuh ancaman itu, maka hati kita bisa sakit dan bahkan mati.

Sebenarnya, penyakit hati itu bersumber pada diperturutkan (atau dipertuhankan)-nya nafsu. Maka, menjadi kewajiban kita untuk selalu dapat menjaga hati dari kekuasaan nafsu. Sebab, pada dasarnya, nafsu selalu mengajak manusia untuk melampaui batas. Sementara, Allah mengajak hamba-Nya untuk takut kepada-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Perhatikan terjemahan ayat ini: ”Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” (QS An-Naazi’aat [79]: 37-41).

Muhasabah, Ayo!

Cara menyembuhkan penyakit hati adalah dengan muhasabah (introspeksi) dan melawan kehendak nafsu. Perhatikanlah hadits ini: “Al-Kayyis (Sang Perkasa) adalah orang yang mengintrospeksi dirinya (bermuhasabah) dan berbuat untuk yang setelah kematian. Adapun al-‘Ajiz adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya, tetapi berangan-angan kepada Allah agar mendapatkan pahala” (HR Ahmad).

Sekaitan ini, kalimat Umar bin Khaththtab Ra berikut ini semoga bisa menjadi sumber inspirasi: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang.” Lalu, kesadaran kita insya-Allah akan makin membesar jika kita lengkapi dengan renungan atas situasi di “Hari Pembalasan” berikut ini: Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (QS Ali-‘Imraan [3]: 30).

Sungguh, muhasabah yang tulus akan membawa kita kepada puncak kesadaran bahwa harus ada persiapan yang memadai agar kita dapat menjalani kehidupan yang berbahagia di dunia dan juga kelak di akhirat. Perhatikan terjemah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS Al-Hasyr [59]: 18). [anw]

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *