Untuk mengupas topik ringan kali ini yang mengangkat soal ‘rasa’, penulis akan memulai pembahasan dengan menggunakan analogi makanan/minuman ringan (soft drink) khas anak-anak. Semua maklum, bahwa banyak sekali jenis makanan/minuman yang objek sasarannya anak-anak itu menawarkan rasa-rasa.
Katakanlah minuman. Ada rasa jeruk, duren, lemon, mangga dan sebagainya. Nampak menggiurkan dari segi rasa brand yang dibangun. Tapi semua maklum, bahwa minuman tersebut bukanlah buah asli. Hanya sekedar rasa. Perasaan yang bermain untuk menyimpulkan bahwa minuman itu memang memiliki rasa buah yang tertera pada kemasan. Bukan buah asli. Dan tentu saja kenikmatannya tak setara. Bahkan tak sedikit yang kecewa setelah mencoba mencicipi. Ternyata tak sesuai dengan asa.
Selesai. Kini kita masuk ke pokok pembahasan. Semisal dengan ilustrasi di atas. Manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini banyak yang tertipu oleh rasa (-rasa). Mulai dari zaman dahulak, hingga kekinian tabiat ini tidak hilang. Padahal praktik inilah yang akan menjungkalkan mereka kepada kenistaan hidup di dunia dan akhirat.
Rasa apa yang dimaksud ?
Banyak. Ada rasa berkuasa selaksa Fir’aun. Ada rasa berilmu tinggi semisal Qarun. Ada rasa sosok terkuat laksana Jalut. Nyatanya, mereka semua musnah dalam keadaan hina dina. Fir’au ditenggelamkan ke dasar laut bersama pasukannya. Qarun ditelan bumi bersama kekayaannya. Tak ada yang tersisa. Sedangkan Jalut gugur berduel dengan ‘anak ingusan’ dari kelompok Tholut, yang tidak lain adalah Nabi Daud.
Nah nampak dengan jelas dari lembaran sejarah manusia, betapa rasa-rasa ini sangat menjebak. Tapi nyatanya hanya sedikit yang mampu mengambil pelajaran. Tak terkecuali mereka yang hidup di masa kini. Betapa aroma hidup dengan polarisasi rasa-rasa ini sangat semerbak tercium. Arogansi kelompok kuat terhadap yang lemah/penguasa kepada rakyat biasa adalah satu bukti akan hal itu.
Jurus Parkir
Semasa masih hidup dan masih aktif di dunia dakwah, kyai sejuta ummat, KH. Zainuddin MZ (alm), pernah memberikan tips, yang menurut penulis, bisa juga ‘diseret’ dalam topik pembahasan kali ini. Wa bil khusus pada sekmentasi penanggolangannya.
Apa yang beliau rekomendasikan?
Yaitu memiliki cara pandang ala tukang parkir (mobil). Kita tahu tukang parkir, meskipun ‘memiliki’ banyak mobil mewah, tidak pernah berjumawa. Hal itu karena ia tak pernah merasa (rasa) sebagai pemiliki (apalagi mutlak). Ia sadar sekali statusnya hanya sebagai penerima kepercayaan untuk menjaga sebaik-baik mungkin. Karena itu tak ada satu halpun yang berpotensi memantik kecongkaan dalam dirinya. Apa yang hendak disombongkan, wong hanya tukang titip.
Demikian pulalah seyogyanya pandangan kita, kaum muslimin terhadap apa yang dimiliki hari ini. fahami sebatas titipan. Jangan pernah (me)rasa memilikinya, sehingga tidak menjadi TUMBAL RASA selanjutnya. Wallahu ‘Alamu Bish-Shawab.
Oleh : Khairul Hibri (Wartawan Majalah MULIA)