Istimewanya Sepertiga Malam

Istimewanya Sepertiga Malam

Bagi yang pernah mondok mungkin bisa membayangkan padatnya kegiatan bersekolah di pesantren. Mulai dari aktifitas belajar di kelas hingga berbagai program asrama yang dijalani setiap waktu.

Begitulah kondisi serupa yang kujalani beberapa tahun terakhir. Tepatnya saat memutuskan kuliah di sebuah perguruan tinggi berbasis pesantren, di ujung Timur Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Apalagi dengan status mahasiswa, nyaris setiap hari ada dosen yang memberi tugas makalah

Hari-hari mahasiswa lalu disibukkan dengan seabrek kegiatan. Mulai dari kuliah, merangkum pelajaran, tugas makalah, hafalan al-Qur’an dan murajaah (mengulang hafalan). Selain itu, ada kerja bakti di lingkungan asrama dan sekitar kampus atau berjibaku di dapur sebagai petugas masak.

Belum lagi jika kena giliran hirasah (berjaga di malam hari). Tugas yang disebut terakhir tersebut cukup menguras energi karena harus tidak tidur semalaman menjaga keamanan lingkungan, sekaligus berfungsi membangunkan yang lain untuk shalat Tahajjud (shalat malam).

Untuk kegiatan pribadi, kadang harus “curi-curi” waktu di sela kesibukan di atas. Biasanya di siang hari jelang waktu Ashar. Saat yang lain sedang menikmati waktu istirahat mereka. Itu berarti sejenak ada waktu menengok cucian pakaian yang perlahan menumpuk.

Sekurangnya bisa merapikan isi lemari yang berantakan atau sekalian memilih istirahat juga seperti kawan-kawan lainnya. Sebab mata dan badanpun ada haknya yang harus dipenuhi. Tak jarang ada saja yang harus berjuang menahan kantuk dan sampai tertidur saat belajar di kelas atau tilawah al-Qur’an di halaqah.

Syukurnya, pengalaman menyantri dahulu membuatku bisa menemukan alternatif lain dalam mengatur waktu. Alhamdulillah ini sudah terbukti dan kabarnya menjadi rahasia para ulama dan tokoh-tokoh terdahulu. Yakni bangun di sepertiga malam (tsulutsul lail).

Baca Juga : Memperbaiki Urusan Dunia

Wah, mudah dong? Oh tidak. Bangun malam bukan cuma berat tapi sangat berat. Sebab itu berarti harus berjuang melawan kantuk di saat yang lain sedang pulas menikmati tidur lelapnya. Berat karena harus bangkit menanggalkan selimut dan bantalnya saat orang lain justru menariknya agar lebih hangat lagi.

Pertama kali shalat Tahajjud, segala hal benar-benar kusiapkan. Mulai dari pasang niat, berwudhu, wirid malam, hingga membaca doa sebelum tidur. Meski begitu ternyata urusan ini tetap saja tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sudah terjaga pun, belenggu godaan itu masih kuat mengikat. Seperti mengangkat beban yang sangat berat. Ya Allah ampuni dosa-dosaku. Mungkin ini akibat maksiat dan kelalaian yang belum bisa kuhindari di siang hari tadi.

Aku hanya bisa merapal doa. Berharap ada kekuatan yang meringankan langkah ini untuk segera bangkit berwudhu dan bersujud di hadapan-Nya.

Alhamdulillah, izin Allah, ujian pertama bisa lolos. Anehnya, suasana malam itu ternyata luar biasa. Ada suasana tenang dan damai yang tiba-tiba merasuk. Pikiran jadi jernih. Jiwa mendadak lapang. Ini juga yang kusyukuri.

Tinggal di asrama pesantren berarti ada jaminan keamanan. Sekurangnya ada yang setiap malam meronda. Berjaga-jaga memastikan keamanan di sekitar lingkungan kampus. Jadi tak perlu khawatir saat berjalan sendirian ke kamar mandi asrama. Maklum aku termasuk perempuan penakut, kata teman-teman menilai.

Usai menunaikan shalat Tahajjud, ternyata masih ada waktu senggang sebelum tiba waktu Fajar. Nah biasanya itu kumanfaatkan dengan menambah hafalan baru dua lembar. Di waktu yang sama, aku berkesempatan membaca pelajaran yang dipelajari hari itu.

Aku juga punya waktu membaca buku-buku motivasi yang kusukai dan menulis sebagai kebiasaan yang coba kurutinkan selalu. Amazing! Sampai di sini ternyata masih ada waktu lebih. Aku masih juga sempat mandi, mencuci bahkan tidur qailulah. Kalau jadwal puasa sunnah, berarti sekalian sahur bersama mahasiswa lainnya.

Baca Juga : Bersyukur Pada Robb

Entah kenapa pekerjaan sebanyak itu bisa selesai di waktu sepertiga malam tersebut. Mungkin ini yang disebut keberkahan waktu. Entahlah. Aku hanya bisa menduga-duga. Sekalipun tak berani memastikannya. Pastinya itu semua bikin aku ketagihan untuk berjuang bangun tengah malam. Paling tidak di sepertiga malam itu. Seperti banyak keajaiban yang terjadi.

Paling terasa, ada ketenangan yang meliputi sepanjang hari. Selalu ada semangat. Meski lelah itu pasti. Sebab kadang itu baru terasa saat menjelang Zhuhur atau di siang hari.

Namun satu yang kusyukuri. Dengan jadwal yang anti “mainstream” itu, aku terlepas dari riuhnya antrian mahasiswa yang mengular di depan kamar mandi setiap hari. Tak perlu rebut hanya gara-gara rebutan sarung untuk shalat Dhuha di Mushalla. Sebab saat itu aku sudah selesai shalat. Tinggal duduk manis mengulang hafalan.

Saat yang lain baru mengulang hafalan, justru aku sudah selesai menyetor dengan hafalan fresh from the open. Bahkan tak jarang teman-teman menitip izin telatnya hanya karena dianggap selalu lebih duluan bersiap berangkat kuliah.

Inilah keajaiban shalat Tahajjud sekaligus barakah waktu sepertiga malam. Ada banyak pekerjaan bisa terselesaikan di waktu tersebut. Namun lebih utama tentu saja, itulah saat yang paling asyik untuk beribadah dan bermunajat kepada sang Pencipta.

Firman Allah; “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji,” (Al-Isra [17]: 79).

Senada dalam hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw): “Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat.” (Riwayat at-Tirmidzi).

Seperti diceritakan Dwi, mahasiswi STIS Hidayatullah Balikpapan. hidayatullah.or.id

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *