Wakaf, Sikap Terbaik ke Harta Tercinta

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali ‘Imraan [3]: 92).

Kisah-kisah Indah

Untuk lebih memahami QS Ali ‘Imraan [3]: 92 di atas, ada baiknya kita putar ulang sebuah kisah. Hal ini, karena kisah -kata Al-Qur’an di Surat Yusuf [12]: 111- memuat ibrah/pelajaran yang sangat penting. Di kaitan ini, kita cermati kisah “Umar bin Khaththab Ra dan Harta yang Dicintainya”.

Bahwa, Sahabat Umar Ra mendapat bagian sebidang tanah di Khaibar. Umar Ra-pun datang kepada Nabi Saw.

“Yaa Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mempunyai harta benda yang seperti ini. Inilah semulia-mulia harta benda yang ada pada saya dan sangat saya cintai. Maka apakah perintahmu yaa Rasulullah kepadaku tentang tanah ini,” tanya Umar Ra.

“Jika kamu suka, hendaklah kamu tahan pokoknya (tanah itu) dan kamu sedekahkan hasilnya,” jawab Rasulullah Saw.

Kemudian Umar Ra menyedekahkan hasilnya dan tanah itu tidak akan dijual, tidak akan diwaris, dan tidak akan diberikan pokoknya. Artinya, tanah itu diwakafkan pada Jalan Allah.

Syariat di atas diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dalam riwayat itu Umar Ra termasuk orang yang mendermakan hartanya serta harta itu berkategori paling besar/banyak dan paling dicintainya. Harta itu diwakafkan di Jalan Allah.

Dalam hal semangat membelanjakan harta yang paling dicintainya, ada lagi riwayat yang lain  dari Bukhari-Muslim. Bahwa, suatu ketika, seorang Sahabat –Abu Thalhah Ra- datang kepada Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menurunkan ayat kepada engkau ‘Lan tana-lul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun’ (‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan -yang sempurna-, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai’). Sungguh, harta benda saya yang sangat saya cintai ialah kebun kurma yang ada di Birhak. Sesungguhnya tanah/kebun saya sedekahkan dengan Lillahi-Ta’ala. Saya mengharapkan kebaikannya dan simpanannya di Sisi Allah. Maka, pergunakanlah Yaa Rasulullah, mana yang paling baik menurut Allah,” demikian kata Abu Thalhah Ra.

“Cara demikian itulah harta yang paling baik dan yang paling untung,” jawab Rasulullah Saw.

Selanjutnya, memang, dalam HR Bukhari ada beberapa Sahabat Nabi Saw mendermakan harta yang dicintainya kepada orang di sekelilingnya. Bahwa, “Mereka mendahulukan orang lain dan mengalahkan kepentingan dirinya sendiri, walaupun dia sendiri juga sangat membutuhkannya”.

Berikut ini, riwayat yang lain. Dari Abu Hurairah Ra, bahwa seseorang –dari kalangan Muhajirin- datang kepada Rasulullah Saw. Kemudian, Rasulullah Saw meminta istrinya agar menjamu tamu itu.

Istri Rasulullah Saw berkata, bahwa dia tidak mempunyai sesuatu kecuali air. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Siapa yang sanggup menjamu tamu ini?” Kemudian ada seorang Sahabat Anshar berkata, “Kami sanggup”.

Lalu Sahabat Anshar itu mengajak sang tamu ke rumahnya. Sahabat Anshar tersebut berkata kepada istrinya, “Hendaklah kita memuliakan tamu Rasulullah ini”.

Si istri menjawab, “Saya tidak mempunyai sesuatu kecuali makanan untuk persediaan anak-anak”.

Si Anshar berkata, “Sediakan makanan dan anak-anak supaya ditidurkan”. Lalu lampu dimatikan. Di tengah suasana itu, “Saya (si Sahabat Anshar itu) memperlihatkan seolah-olah seperti orang yang sedang makan”.

Esok paginya, Si Sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Saw. Lantas, Rasulullah Saw berkata, bahwa “Tadi malam Tuhan tertawa karena melihat perbuatanmu dan kemudian menurunkan QS Al-Hasyr [59]: 9” ini: Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.
          Masih ada kisah lain yang tak kalah menggugah. Tersebutlah, ada Sahabat yang mempunyai daging kambing. Setelah dimasak, lalu dihadiahkan kepada tetangganya yang di sebelah kanan. Orang yang menerima hadiah, tidak suka makan. Lantas, makanan itu dihadiahkan kepada tetangga yang ada di muka. Ternyata, mereka juga tidak mau makan. Terakhir, makanan itu kembali dihadiahkan kepada yang masak permulaan. Di sini, barulah dia mengerti bahwa daging kambingnya itu kembali. Setelah itu, dimakanlah rezeki itu.

Apa makna kisah “Daging kambing yang berputar” itu? Terlihat, bahwa semua Sahabat di kisah itu suka memberi -suka menolong- kepada orang lain.

Terbaik, Terbaik!

Dalam hal membelanjakan harta di Jalan Allah, semoga kita tak terjebak menjadi si kikir. Sebaliknya, semoga kita mudah –selalu lapang- dalam membantu atau menyantuni orang lain. Kita selalu ringan dalam hal mengeluarkan harta di Jalan Allah dan bahkan kita pilih yang terbaik di antaranya. Alhamdulillah. [an.]

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *