Pesona Lisan dan Tulisan Abdullah Said

Pendiri Hidayatullah Abdullah Said

Abdullah Said –boleh jadi- belum setenar KH Ahmad Dahlan atau KH Hasyim Asy’ari. Tapi, Hidayatullah yang didirikannya pada 1973, tergolong sebagai gerakan Islam yang tumbuh-kembang sangat cepat. Apa sebagian ‘rahasia sukses’-nya?

Pembelajar Sejati
Abdullah Said lahir 17/08/1945 di Sinjai, Sulawesi Selatan. Pada 1954, Abdullah pindah ke Makassar. Dia selesaikan SD dengan nilai tertinggi yang memungkinkannya bisa memilih sekolah lanjutan favorit. Dia memilih Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) dengan masa studi 6 tahun yang siswanya mendapat beasiswa (kala itu istilahnya Tunjangan Ikatan Dinas / TID).

Abdullah lulus PGAN juga dengan nilai tinggi, sehingga mendapat beasiswa ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya setahun Abdullah kuliah, lalu berhenti. Abdullah merasa tak mendapat tambahan ilmu karena semua materi kuliah telah dibacanya.

Pada 07/01/1973, Abdullah mendirikan Hidayatullah dalam bentuk sebuah pesantren, di Balikpapan. Gerakan itu dengan cepat menyebar ke berbagai pelosok Indonesia. Ratusan cabang Hidayatullah telah berdiri. Lalu, melalui Musyawarah Nasional I pada 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah dideklarasikan sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas).

Sejak kanak-kanak Abdullah sangat gemar membaca. Kesukaan membaca dan mengoleksi buku tentu membutuhkan biaya. Dia beruntung karena –kala itu- dia mendapat beasiswa yang setiap bulan hampir tak ada yang tersisa karena semua dibelikan buku.

Jika tidak acara, tiap Ahad atau hari libur lainnya dia gunakan berwisata ke toko buku. Toko buku di Makassar dilanggananinya. Dia sedih jika ada buku yang diinginkannya, tapi saat itu uang di kantongnya tak cukup. Biasanya, dia lalu melobi penjaga toko agar buku yang diincarnya disisihkan sebuah. Dia berjanji, sesegera mungkin akan membelinya. Mengingat Abdullah telah dikenal sebagai si ‘kutu buku’, karyawan toko tak berkeberatan.

Ketika di kemudian hari Abdullah dikenal sebagai muballigh muda yang cukup popular, kesukaannya membaca semakin kuat. Sebagian besar pendapatannya habis untuk belanja buku.

Dulu, di Balikpapan, hanya ada satu toko buku -terletak tak jauh dari Sekretariat Hidayatullah Karang Bugis- dan menjadi langganan Abdullah. Sang pemilik toko merasa diuntungkan karena Abdullah lebih dari sekadar sebagai pelanggan yang setia. Sebab, saat berceramah, Abdullah kerap menunjukkan buku referensi yang dibacanya dan di mana membelinya. Akibatnya, buku yang dimaksud cepat habis di toko tersebut.

Jamaah pengajian Abdullah tak hanya ‘orang Hidayatullah’ saja, tapi juga dari kalangan yang beragam seperti dari Pertamina, perusahaan-perusahan asing, dan lain-lain. Jika sedang ada acara di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, atau Surabaya, mereka –para jamaah itu- akan menawarkan jasa kepada Abdullah barangkali ada judul-judul buku yang diperlukannya dan untuk itu akan dibantu untuk mencarikannya. Abdullah sendiri, jika sedang berkunjung ke Jawa, setiap selesai tugas utamanya sebagai pemimpin Hidayatullah, akan menyempatkan diri ke toko buku.

Betapa gigihnya Abdullah dalam berburu buku, ilustrasi berikut kiranya cukup mewakili. Pada 1967, Indonesia baru saja lepas dari tirani Orde Lama. Saat itu terbit buku karya KH Isa Anshari, seorang tokoh Masyumi. Dia dikenal sebagai singa podium dan merupakan salah satu idola Abdullah.

Buku itu berisi seputar Orde Baru: apa ciri-cirinya, siapa yang terkategori Orde Lama dan siapa pula yang Orde Baru. Abdullah sangat ingin membelinya. Sayang –di saat itu- uangnya tak cukup. Lalu, seperti biasa, diapun mendekati penjaga toko dan memohon agar buku –yang stoknya terbatas itu- disisakan satu untuknya. Dia berjanji, sesegera mungkin membelinya begitu ada uang.

Dia berpikir keras untuk mendapatkan uang. Dia khawatir, buku bagus itu habis. Ide muncul. Abdullah menemui kawannya yang bertugas mengatur jadwal ceramah muballigh Muhammadiyah. Abdullah meminta –jika ada jadwal kosong karena sang penceramah berhalangan- kesempatan itu diberikan kepadanya.

Teman yang sudah mengenal karakter Abdullah itu, meluluskannya. Caranya? Si teman merelakan jadwal ceramahnya hari itu untuk diisi Abdullah. Usai berceramah, dengan mengantongi sejumlah rupiah hak dia sebagai penceramah, bergegaslah Abdullah ke toko buku untuk membeli buku yang diimpi-impikannya.

Abdullah pembaca dan pembelajar yang tekun. Setelah memimpin Hidayatullah, dia semakin tekun membaca. Setiap hari dia membaca tiga koran terbitan Jakarta dan dua koran lokal (Balikpapan). Sementara, untuk media berkala dia membaca setidaknya sembilan majalah. Buku-buku baru yang diiklankan di media dan dianggap penting, langsung dia cari. Tulisan-tulisan menarik diklipingnya. Singkat kata, kapan dan di manapun, dia sempatkan untuk membaca.

Buku bertema apa yang dibacanya? Beragam! Tak hanya keislaman, tapi juga –antara lain- managemen, jurnalistik, dan pengembangan diri. Untuk yang disebut terakhir, koleksinya termasuk karya-karya Dale Carnegie, Stephen R. Covey, dan lain-lain. Karya John Naisbitt dan Alvin Toffler ada juga di perpustakaannya.

Waktu favorit Abdullah untuk membaca adalah usai melakukan shalat tahajjud. Di banyak halaman buku-buku yang dibacanya penuh dengan catatan di pinggirnya, berupa komentar dan –jika perlu- kritik dia. Untuk hal-hal yang penting, dia garis-bawahi. Dia juga terbiasa membaca buku sambil menulis di komputer.

Siapa yang –antara lain- memengaruhi Abdullah sehingga ‘gila membaca’? KH Abdul Ghaffar Ismail -ulama asal Pekalongan itu- sangat memberinya motivasi, lewat pernyataan: “Muballigh yang malas membaca adalah muballigh …..” (Catatan: titik-titik itu sebuah ungkapan khas yang punya makna: “tak bermutu”).

Bacaan Abdullah yang kaya membuat ceramah serta tulisannya sangat menarik dan disenangi banyak pihak lantaran tajam dan aktual. Tulisan-tulisan dia yang dimuat majalah Suara Hidayatullah di rubrik Kajian Utama, juga disukai pembaca. Pendek kata, lewat kekuatan lisan dan tulisannya, Abdullah memang seorang motivator ulung.

Siapa Ikut
Abdullah Said berpulang ke Rahmatullah pada 1998. Jejaknya cukup banyak yang bisa kita ikuti dalam hal meraih sukses, terutama di dunia dakwah. Mari, sebagaimana dia, bacalah sebanyak mungkin buku! InsyaAllah, kesuksesan dan kebahagiaan akan kita rasakan

Oleh M. Anwar Djaelani (di kutip dari WA group Hidayatullah Surabaya)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *