Fitrah Manusia

Dalam pandangan Islam, setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah disini berarti suci, tidak punya kesalahan apa-apa. Satu-satunya yang di bawa pada saat itu ialah potensinya sebagai manusia, yang ketika dewasa, dapat membawanya pada jalan ketakwaan, maupun jalan kejahatan.

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS 91: 7-10).

Jadi, sebetulnya manusia itu aslinya cenderung kepada kebaikan. Hanya saja, karena potensinya sebagai manusia yang mempunyai free will (kebebasan dalam bertindak), manusia dapat tergelincir kepada jalan kejahatan. Ketika manusia berjalan berdasarkan tuntunan nafsu yang membawa kepada kejahatan, manusia sedikit demi sedikit bergeser dari fitrahnya yang suci.

Hal ini sungguh membahayakan. Sebab, apabila manusia telah bergeser dari fitrahnya begitu jauh, manusia tidak dapat lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk. Yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah. Nur Ilahi dipandang sebagai kegelapan, sementara kegelapan dipandang sebagai cahaya. Maksiat dirasa nikmat, ibadah dirasa susah. Kemaksiatan menjadi santapan sehari-hari, kebaikan menjadi sesuatu yang asing.

Setan telah berhasil memperdayanya, membuat manusia memandang baik perbuatan buruknya. Na’udzubillahi min dzalik.

Maka, kata Allah, beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya.

Agar manusia dapat terlindung dari potensinya kepada jalan kejahatan, maka Allah membekali manusia dengan fitrah lainnya, yaitu agama. Suatu tuntunan yang sesuai dengan jati diri manusia. Tidak heran, ditemukan orang yang di masa mudanya jauh dari agama, di masa tuanya bertaubat dan kembali pada agama. Karena agama itu fitrah, sesuai dengan naluri alamiah manusia. Bahkan Fir’aun di akhir hayatnya pun mengaku beragama! (QS 10: 90).

“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS 30: 30).

Dalam buku PUASA, Muhammad Rusli Malik menulis, penggunaan kata ‘hadapkanlah’ di ayat ini menunjukkan bahwa manusia sebetulnya tidak pernah ‘sengaja’ melakukan kebatilan. Kebatilan secara otomatis terjadi apabila wajah atau pandangan hidup melenceng dari agama Allah.

Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman selalu berpegang teguh kepada agama-Nya, menjadikannya sebagai jalan hidup. Wallahu a’alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *